Warga Karendan Barito Utara Resah, Lahan Dirampas, Kini Terancam Dikriminalisasi oleh PT. NPR

Jakarta, Obor Rakyat – Masyarakat Desa Karendan, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, tengah dilanda keresahan menyusul aktivitas pertambangan batu bara yang dilakukan oleh PT. Nusa Persada Resources (NPR).
tambang batu bara milik PT. NPR di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah (Fot Ist).

Jakarta, Obor Rakyat – Masyarakat Desa Karendan, Kecamatan Lahei, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, tengah dilanda keresahan menyusul aktivitas pertambangan batu bara yang dilakukan oleh PT. Nusa Persada Resources (NPR).

Perusahaan yang baru beberapa bulan terakhir beroperasi ini dituding telah memicu konflik agraria serius yang berdampak langsung pada pemilik lahan adat di wilayah tersebut.

Salah satu warga, Heri, menyuarakan keresahannya. Ia mengungkapkan bahwa warga yang telah lama mengelola lahan secara turun-temurun kini justru dilaporkan ke pihak kepolisian oleh perusahaan atas tuduhan perambahan hutan.

“Kami jauh lebih dulu di sini. Sebelum NPR datang, kami sudah garap lahan itu turun-temurun. Sekarang malah dituduh merambah hutan,” tegas Heri, dikutip dari Liputan106.my.id, Rabu (18/6/2025).

Heri bahkan telah mengadukan dugaan kriminalisasi ini ke Mapolda Kalimantan Tengah, mempertanyakan dasar laporan hukum yang dikenakan kepada sejumlah petani lokal, yang kini diperiksa di Mapolres Barito Utara.

Dugaan Intervensi Aparat dan Suap Kepala Desa

Keresahan warga makin memuncak setelah beredar rekaman suara yang diduga berasal dari seseorang bernama Hirung, bagian dari manajemen PT. NPR. Dalam rekaman tersebut, disebutkan bahwa langkah perusahaan mendapat restu dari Kapolres Barito Utara.

Baca Juga :  Pensiunan Perhutani Tuntut Hak Pensiun di Kantor Pusat, Soroti Migrasi Skema yang Dinilai Merugikan

“Kalau benar arahan datang dari Kapolres, ini sangat mengkhawatirkan. Kami khawatir ada upaya sistematis membungkam warga,” ucap Heri.

Lebih jauh, warga menuding adanya praktik suap kepada dua oknum kepala desa yang disebut menerima uang hingga Rp4,75 miliar. Proses pemberian dana itu bahkan dilakukan secara tertutup di ruang kerja Polres Barito Utara, tanpa melibatkan pemilik sah lahan.

Nama-nama seperti HR, AS, dan AN mencuat sebagai pihak manajemen PT. NPR yang diduga menyalurkan dana tali asih yang dinilai sarat kepentingan dan berpotensi sebagai gratifikasi.

Strategi Pecah Belah dan Intimidasi

Warga juga menuduh perusahaan menerapkan strategi “pecah belah” atau divide et impera dengan cara mendekati masyarakat secara individual, memberi kompensasi diam-diam, dan mendorong konflik horizontal antarsesama warga adat. Langkah ini dinilai sebagai taktik untuk menguasai lahan tanpa menghadapi perlawanan kolektif.

“Kami dikriminalisasi, diadu domba, dan dipaksa menerima tali asih yang tidak adil. Ini bukan musyawarah, ini penyerobotan!” tegas Heri.

Ia pun menutup pernyataannya dengan nada getir.

“Yang kami pertanyakan, lahan kami yang digarap, kepala desa yang terima uang miliaran, tapi kenapa kami yang justru terancam dipenjara?” tandasnya.

Desakan Investigasi Independen

Kasus ini memicu reaksi dari berbagai elemen masyarakat sipil yang mendesak dilakukan investigasi independen atas dugaan pelanggaran hak masyarakat adat, konflik kepentingan aparat, serta indikasi gratifikasi dalam proses pemberian kompensasi lahan.

Apabila tidak segera ditangani secara transparan, konflik antara warga dan PT. NPR di wilayah perbatasan Kalteng–Kaltim ini dikhawatirkan akan semakin meluas dan mencederai prinsip keadilan agraria serta perlindungan terhadap hak masyarakat adat. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *