
Jakarta, Obor Rakyat – Dalam momentum peringatan Hari Narkotika Internasional 2025, Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) Cabang Surabaya menegaskan perlunya perubahan fundamental dalam kebijakan penanganan narkotika di Indonesia. JRKN menyuarakan kritik keras terhadap pendekatan hukum yang masih menjadikan pengguna narkotika sebagai pelaku kriminal, bukan individu yang memerlukan layanan kesehatan.
Totok Yulianto, SH., perwakilan JRKN sekaligus anggota Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), menyampaikan bahwa Indonesia masih terpaku pada pendekatan punitif ala “war on drugs” yang dinilai tidak efektif dan bahkan menimbulkan dampak buruk.
“Pendekatan yang menitikberatkan pada pemidanaan justru memperburuk masalah. Pengguna narkotika seharusnya diarahkan ke rehabilitasi, bukan dipenjara,” ujar Totok dalam keterangannya di Jakarta, belum lama ini.
JRKN mengungkap fakta kelebihan kapasitas penghuni rutan dan lapas sebagai konsekuensi dari kriminalisasi pengguna narkotika. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), per Juni 2025 terdapat 268.718 narapidana di seluruh Indonesia, sementara kapasitas hanya mencukupi untuk 138.128 orang. Artinya, terjadi overcrowding sebesar 94,56%.
“Sekitar 52% penghuni lapas adalah tahanan kasus narkotika, di antaranya 140.474 orang teridentifikasi sebagai pengguna. Ini menunjukkan sistem belum mengedepankan pendekatan kesehatan,” tegas Totok.
Kritik terhadap UU Narkotika dan Desakan Revisi
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinilai menjadi akar masalah, karena masih mengklasifikasikan pengguna sebagai pelaku kriminal. JRKN mendesak DPR RI untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap UU tersebut dengan tujuh poin rekomendasi utama, yakni:
– Mengubah paradigma dari penghukuman ke pendekatan kesehatan. Pemidanaan terbukti menciptakan siklus ketergantungan, stigma, dan keterasingan sosial.
– Menerapkan dekriminalisasi pengguna narkotika. Dekriminalisasi bukan legalisasi, tetapi pengalihan pemidanaan ke intervensi sosial dan kesehatan seperti yang dilakukan Portugal dan Swiss.
– Memungkinkan pemanfaatan narkotika untuk tujuan kesehatan dan riset. Pemerintah harus mengakomodasi penggunaan terbatas narkotika untuk kepentingan medis.
– Memperjelas batas kewenangan penyidikan. Termasuk pembatasan praktik penjebakan (undercover buying) dan penyerahan di bawah pengawasan.
– Meningkatkan kualitas layanan rehabilitasi. Rehabilitasi tidak boleh menjadi kedok eksploitasi ekonomi, melainkan harus fokus pada peningkatan kualitas hidup pengguna.
– Mendorong pelibatan masyarakat sipil dan akademisi. Pembahasan revisi UU harus inklusif dan berbasis bukti ilmiah.
– Menindaklanjuti putusan MK terkait riset ganja medis. Pemerintah didesak menjadikan Aceh sebagai pilot project penelitian ganja medis berdasarkan SK DPRA No. 24 Tahun 2023.
“Putusan MK No. 106/PUU-XVIII/2020 bersifat final dan mengikat. Negara wajib memfasilitasi riset ganja medis demi hak atas kesehatan warga,” tambah Totok.
Seruan untuk Pemerintah dan DPR
JRKN mengajak pemerintah dan DPR RI untuk memiliki political will dalam menyusun kebijakan yang humanis dan berbasis bukti ilmiah. Revisi UU Narkotika 2025 dianggap sebagai momentum strategis untuk merombak sistem yang selama ini gagal mengatasi permasalahan narkotika secara menyeluruh.
“Kami ingin kebijakan yang tidak lagi menghukum orang sakit, tetapi menyembuhkan mereka. Sudah saatnya negara hadir dengan solusi, bukan hanya hukuman,” pungkasnya. (*)