
Jakarta, Obor Rakyat – Kebijakan baru terkait hak cipta musik kembali memicu polemik di tengah masyarakat. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) menetapkan aturan bahwa setiap penggunaan musik dalam acara hajatan, seperti pesta pernikahan maupun acara keluarga, kini wajib membayar royalti sebesar dua persen dari total biaya acara.
Aturan ini diklaim sebagai bentuk perlindungan terhadap hak cipta pencipta lagu dan musisi agar mereka memperoleh penghasilan yang layak. Namun, kebijakan tersebut justru menuai kritik karena dianggap memberatkan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang kerap menggelar pesta sederhana.
“Kalau buat acara keluarga kecil-kecilan saja harus bayar royalti, bagaimana dengan orang-orang yang penghasilannya pas-pasan?” ujar salah seorang warga di Jakarta, Senin (18/8/2025).
Penyelenggara Hajatan Keluhkan Biaya Tambahan
Sejumlah penyelenggara acara juga menyuarakan kebingungan mereka terkait aturan ini. Selain harus menghitung detail biaya acara, mereka diwajibkan melaporkan dan membayar royalti sesuai ketentuan. Bagi penyelenggara, hal ini menambah beban biaya yang tidak sedikit.
“Biaya hajatan saja sudah besar, ditambah aturan ini jadi semakin berat,” keluh seorang penyelenggara pernikahan di Jakarta.
LMK: Demi Ekosistem Musik Indonesia
Di sisi lain, LMK menegaskan bahwa kebijakan tersebut berlandaskan undang-undang dan bertujuan menjaga keberlangsungan ekosistem musik nasional. Dengan adanya aturan ini, para pencipta lagu diharapkan mendapatkan penghargaan yang setimpal dari penggunaan karya mereka.
“Musik adalah karya intelektual. Setiap penggunaannya, termasuk di acara pribadi, wajib memberikan hak yang layak kepada penciptanya,” kata perwakilan LMK.
Alternatif: Musik Bebas Royalti
Aturan baru ini membuat masyarakat dan penyelenggara acara harus berpikir ulang dalam memilih hiburan. Beberapa bahkan mulai mencari solusi alternatif, seperti menggunakan musik bebas royalti atau mengurangi durasi hiburan musik agar biaya tidak membengkak.
Kebijakan royalti musik di hajatan ini pun memunculkan perdebatan: apakah langkah ini adil sebagai penghargaan bagi musisi, atau justru terlalu membebani masyarakat?. (*)