
Jakarta, Obor Rakyat – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti tata kelola pemerintahan di sejumlah daerah, termasuk Kabupaten Bondowoso. Fokus utama KPK kali ini menyasar aspek vital dalam tata kelola anggaran daerah, yakni perencanaan, penganggaran, serta pengadaan barang dan jasa (PBJ), yang dinilai masih menyimpan potensi kerawanan tinggi terhadap praktik korupsi.
Dalam Rapat Koordinasi antara KPK dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bondowoso yang digelar Selasa, 26 Agustus 2025, Kepala Satuan Tugas Wilayah III KPK, Wahyudi, menegaskan pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Ia menilai besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bondowoso tahun 2025 yang mencapai Rp2,162 triliun harus diimbangi dengan sistem pengelolaan yang bersih, transparan, dan sesuai regulasi.
“Dengan anggaran sebesar itu, diperlukan sistem pengelolaan yang akuntabel dan berintegritas agar benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Hubungan legislatif dan eksekutif juga harus berjalan selaras,” tegas Wahyudi, dikutip dari kpk.go.id, Kamis (28/8/2025).
KPK mengungkapkan empat area utama yang menjadi sumber kerawanan korupsi di lingkungan Pemkab Bondowoso, yaitu:
1. Dana Hibah Rawan Penyalahgunaan Kewenangan.
- Ditemukan indikasi penyimpangan dalam penyaluran dana hibah, termasuk potensi konflik kepentingan serta lemahnya verifikasi penerima hibah.
2. Pokok Pikiran (Pokir) Dewan Tak Sesuai Regulasi.
- Proses pengajuan pokir dinilai tidak tepat sasaran, tidak sesuai regulasi, bahkan terindikasi adanya sistem penjatahan antar anggota legislatif yang berpotensi menimbulkan moral hazard.
3. Aset Daerah Terlantar
- Sejumlah aset strategis milik daerah tidak dimanfaatkan secara optimal, seperti Pasar Hewan Terpadu Curahdami, Rumah Sakit Paru Pancoran, dan gudang pertanian di beberapa kecamatan yang mangkrak tanpa kejelasan rencana pemanfaatan.
4. Temuan BPK: Kesalahan Penganggaran dan Kelebihan Pembayaran
- Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tahun anggaran 2024, ditemukan kesalahan dalam pengalokasian anggaran, kelebihan pembayaran iuran kesehatan, serta kekurangan volume pada proyek konstruksi.
Dalam ranah pengadaan barang dan jasa, KPK menemukan penggunaan metode pengadaan langsung dan e-purchasing yang tidak efisien. E-purchasing di Bondowoso menunjukkan anomali pada waktu pelaksanaan, harga yang tidak sesuai standar pasar, serta keberadaan perusahaan dengan kemampuan “multi-talenta” yang mencurigakan karena mampu mengerjakan berbagai jenis proyek berbeda.
Proyek-proyek serupa juga kerap ditemukan menggunakan metode pengadaan langsung, yang rawan menimbulkan praktik pengondisian pemenang tender dan mark-up anggaran.
KPK mencatat bahwa pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi di Kabupaten Bondowoso terus masuk secara konsisten dari tahun ke tahun, dengan rata-rata minimal lima aduan setiap tahun.
“Dengan adanya aduan ini, berarti memang ada risiko yang perlu sama-sama kita benahi,” pungkas Wahyudi.
Untuk menghindari terjadinya tindak pidana korupsi, KPK merekomendasikan mitigasi menyeluruh, mulai dari perencanaan pokir yang tepat waktu dan sesuai mekanisme, verifikasi ketat terhadap penerima hibah, hingga pembenahan sistem pengadaan agar efisien dan terbebas dari praktik lancung.
KPK juga menekankan pentingnya sinergi antara perangkat daerah dan legislatif untuk memastikan setiap keputusan anggaran berpihak pada kepentingan publik dan tidak menjadi ladang bancakan politik. (*)