Dualisme Kepemimpinan Kembali Guncang PPP: Mardiono vs Agus Suparmanto Saling Klaim Ketum

Jakarta, Obor Rakyat – Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) diwarnai ketegangan usai dua tokoh, Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim diri sebagai Ketua Umum PPP terpilih. Perseteruan ini memunculkan kembali bayang-bayang dualisme kepemimpinan yang pernah terjadi pada 2014.
Dualisme kepemimpinan kembali mengguncang PPP.

Jakarta, Obor Rakyat – Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) diwarnai ketegangan usai dua tokoh, Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim diri sebagai Ketua Umum PPP terpilih. Perseteruan ini memunculkan kembali bayang-bayang dualisme kepemimpinan yang pernah terjadi pada 2014.

Pada hari pertama pelaksanaan Muktamar X PPP yang digelar di Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (27/9/2025), Pimpinan Sidang Amir Uskara secara resmi menyatakan Mardiono sebagai Ketua Umum terpilih secara aklamasi. Ia menyebut Mardiono mendapatkan dukungan dari 1.304 muktamirin pemilik suara sah.

“Selamat Pak Mardiono atas terpilihnya secara aklamasi dalam Muktamar X yang baru saja kami ketuk palunya,” ujar Amir dalam konferensi pers, Sabtu malam.

Namun, pengumuman itu langsung memicu penolakan dari sebagian peserta muktamar. Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhammad Romahurmuziy (Romy), menyebut penetapan tersebut tidak sah dan inkonstitusional. Menurutnya, muktamar masih berlangsung hingga pukul 22.30 WIB dan belum sampai pada tahapan pemilihan ketua umum.

“Klaim bahwa Mardiono terpilih secara aklamasi adalah palsu, sepihak, dan berpotensi memecah belah PPP,” kata Romy dalam pernyataan tertulis.

Baca Juga :  Dualisme Kepemimpinan PPP: Menanti Keputusan Menkumham Soal Ketum Sah Antara Mardiono atau Suparmanto

Agus Suparmanto Muncul sebagai Calon Penantang

Menanggapi situasi tersebut, kubu Romy dan sejumlah kader lain menetapkan Agus Suparmanto, mantan Menteri Perdagangan, sebagai Ketua Umum PPP versi mereka. Hal ini memperkuat indikasi terjadinya dualisme kepemimpinan di tubuh partai berlambang Ka’bah.

Mardiono sendiri mengklaim percepatan penetapan dilakukan berdasarkan Pasal 11 AD/ART PPP, yang memungkinkan pemilihan dipercepat dalam kondisi darurat.

“Situasi ini sudah kami anggap sebagai keadaan darurat, maka proses kami percepat untuk menyelamatkan partai,” ujar Mardiono.

Deja Vu Dualisme PPP Seperti Tahun 2014

Kisruh serupa pernah terjadi pada 2014, ketika dualisme kepemimpinan pecah antara kubu Romy dan Djan Faridz. Saat itu, dua muktamar digelar secara terpisah: di Surabaya yang menetapkan Romy, dan di Ancol yang mengangkat Djan Faridz.

Konflik tersebut baru mereda setelah Mahkamah Agung memenangkan kubu Romy melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) pada 2017, setelah sebelumnya dilakukan Muktamar islah pada 2016.

Potensi Konflik Berlanjut Hingga Jalur Hukum

Melihat kondisi saat ini, pengamat menilai besar kemungkinan konflik akan dibawa ke jalur hukum, seperti halnya kasus sebelumnya. PPP terancam kembali terjebak dalam kubu-kubuan internal yang berpotensi merusak soliditas menjelang tahun politik. (*)

 

Penulis : Achmad
Editor : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *