
Masyarakat Desak Kapolri Turun Tangan
Pematangsiantar, Obor Rakyat — Kembalinya aktivitas di Tempat Hiburan Malam (THM) Studio 21 Pematangsiantar menuai sorotan tajam dari masyarakat. Pasalnya, tempat hiburan tersebut sebelumnya telah dipasangi garis polisi (police line) oleh aparat kepolisian setelah terbukti menjadi lokasi peredaran narkotika jenis ekstasi beberapa bulan lalu.
Namun, pantauan di lapangan menunjukkan Studio 21 kini mulai kembali beroperasi dengan melakukan aktivitas renovasi dan persiapan pembukaan. Kondisi ini dinilai mencederai upaya penegakan hukum serta melemahkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum di wilayah Polda Sumatera Utara.
Pemilik Gedung Belum Tersentuh Hukum
Meski sejumlah pelaku yang terjaring dalam operasi narkotika di lokasi tersebut masih mendekam di tahanan, Amut, selaku pemilik gedung dan penyedia tempat, hingga kini belum tersentuh proses hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah publik mengenai potensi tebang pilih dalam penegakan hukum kasus narkotika di Sumatera Utara.
Dugaan Pelanggaran Tata Ruang dan Lingkungan
Selain persoalan hukum pidana, Studio 21 juga diduga kuat melanggar aturan tata ruang dan lingkungan hidup. Bangunan tersebut disebut-sebut berdiri melanggar garis sempadan sungai, yang seharusnya menjadi kawasan lindung dan bebas dari aktivitas bangunan permanen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Pasal 5 ayat (1).
Regulasi tersebut menegaskan bahwa sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan kegiatan manusia, sehingga tidak boleh digunakan untuk pembangunan permanen.
Potensi Pelanggaran UU Narkotika
Dari sisi hukum pidana, pembiaran beroperasinya kembali lokasi yang pernah menjadi tempat peredaran narkoba berpotensi melanggar Pasal 131 dan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni:
- Pasal 131: Setiap orang yang mengetahui adanya tindak pidana narkotika tetapi tidak melaporkannya kepada pihak berwenang dapat dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun atau denda maksimal Rp50 juta.
- Pasal 132 ayat (1): Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana tersebut.
Desakan Kepada Kapolri untuk Bertindak
Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Masyarakat Peduli Indonesia Baru (DPP KOMPI B), Henderson Silalahi, menyampaikan keprihatinan mendalam dan mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk turun tangan langsung mengusut kasus Studio 21.
“Kami minta Kapolri menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam pembiaran ini. Jika Studio 21 kembali beroperasi, besar kemungkinan tempat itu akan kembali menjadi sarang peredaran narkotika. Ini jelas mencoreng wibawa hukum di Sumatera Utara,” tegas Henderson Silalahi, Kamis (13/11/2025).
Harapan Hukum yang Adil
Henderson juga menyoroti bahwa pembiaran terhadap pelanggaran hukum seperti ini dapat menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan narkoba dan penegakan tata kelola ruang kota yang tertib hukum.
“Kami berharap Polda Sumut dan Pemerintah Kota segera menindaklanjuti izin serta legalitas bangunan Studio 21 yang diduga melanggar sempadan sungai. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” tambahnya.
Lebih lanjut, Henderson menyatakan akan menyurati langsung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk meminta penanganan serius terhadap Studio 21 dan Amut sebagai pemilik gedung.
Publik kini menanti langkah konkret aparat penegak hukum, terutama Polda Sumatera Utara dan Mabes Polri, dalam memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tidak ada ruang bagi praktik pembiaran terhadap tempat yang pernah menjadi lokasi peredaran narkoba. (*)
Penulis : S Hadi Purba
Editor : Redaksi