
Bondowoso, Obor Rakyat – Ijen Geopark kembali memasuki fase penting menjelang proses revalidasi UNESCO Global Geopark (UGGp) tahun 2026.
Setelah resmi menyandang status UGGp pada Mei 2023, dua daerah pengelola yakni Bondowoso dan Banyuwangi kini memperkuat sinergi untuk memastikan kawasan vulkanik aktif tersebut tetap memenuhi standar dunia.
Dalam Forum Koordinasi Persiapan Revalidasi Ijen Geopark, Kamis (20/11/2025) di Bondowoso, berbagai pemangku kepentingan memaparkan progres dan strategi menuju asesmen UNESCO.
Ijen: Ruang Kolaborasi, Bukan Sekadar Destinasi
Wakil Bupati Bondowoso, As’ad Yahya Syafi’i, menegaskan bahwa Ijen bukan sekadar ikon wisata atau proyek branding daerah.
“Ijen adalah ruang bersama tempat kolaborasi menjadi budaya, bukan seremoni,” ujarnya.
Bondowoso yang mengelola sisi barat Ijen dengan kekayaan geologi berbeda dari Banyuwangi, telah menetapkan fokus baru:
- Penguatan konservasi dan perlindungan warisan geologi
- Peningkatan kualitas edukasi serta riset geopark
- Pengembangan ekonomi berkelanjutan berbasis potensi lokal
Menurut As’ad, revalidasi bukan titik akhir, melainkan momentum memperbaiki tata kelola agar manfaat geopark semakin nyata bagi masyarakat.
Banyuwangi Bangun Ekosistem Geopark Berbasis Komunitas
Sekretaris Bappeda Banyuwangi, Budi Wahono, menyebut status UGGp membawa tanggung jawab besar.
“Ijen bukan lagi sekadar objek wisata besar, melainkan warisan dunia yang harus kita jaga bersama,” ujarnya.
Dalam delapan tahun terakhir, Banyuwangi memperkuat ekosistem geopark melalui:
- Edukasi geopark di sekolah
- Konservasi kawasan
- Integrasi kebijakan desa–kota
- Penguatan komunitas dan UMKM berbasis geologi–budaya
- Penelitian geodiversitas, geokonservasi, dan geowisata bersama kampus serta lembaga riset
Ia juga menyoroti pentingnya literasi kebencanaan, mengingat Ijen merupakan kawasan vulkanik aktif.
Pengelolaan Berbasis Sains dan Branding yang Lebih Kuat
Ketua Pengurus Harian Ijen Geopark, Tantri Raraning Tias, menegaskan bahwa pengelolaan geopark harus berbasis riset dan melibatkan semua unsur pentahelix.
Karakter geologi dan ekologi yang berbeda di dua kabupaten menuntut pendekatan ilmiah agar tidak merusak kawasan. Selain itu, ia menekankan pentingnya meningkatkan branding dan visibilitas geopark.
“Sebagus apa pun program geopark, kalau tidak dikenal publik, maka ia tidak akan berjalan maksimal,” ungkapnya.
Tantri juga memaparkan bahwa hingga 2025, 160 lembaga pendidikan telah mengintegrasikan geopark dalam kurikulum. Kegiatan seperti geotalk, geo-practic, dan bio-education semakin rutin digelar, memperkuat pemahaman masyarakat terkait geopark.
Tantangan Menuju 2026: Alam, Data, dan Kolaborasi
Meski progres signifikan, sejumlah tantangan masih mencuat, antara lain:
- Harmonisasi lintas kabupaten
- Pengembangan infrastruktur ramah lingkungan
- Penyediaan data ilmiah yang lengkap
- Penegakan konservasi di lapangan
- Edukasi mitigasi bencana vulkanik
- Konsistensi pemberdayaan ekonomi masyarakat
- Luasnya kawasan Ijen yang berbatasan administratif serta tingkat kerawanan bencana tinggi menuntut koordinasi intensif.
Menuju Ijen 2026: Warisan Dunia untuk Generasi Mendatang
Forum ini menjadi langkah awal memastikan Ijen tetap menjadi geopark kelas dunia, tempat wisatawan menikmati keajaiban alam, masyarakat merasakan manfaat ekonomi, dan ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa merusak lingkungan.
Revalidasi 2026 menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk kembali memperlihatkan bahwa Ijen bukan hanya destinasi wisata spektakuler, tetapi warisan bumi yang dikelola dengan visi keberlanjutan global. (*)
Penulis : Latif J
Editor : Redaksi