
Jakarta, Obor Rakyat – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memperluas penyidikan dugaan korupsi yang menyeret Pemerintah Provinsi Riau terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025. Sorotan lembaga antirasuah kini mengarah pada kemungkinan keterlibatan pejabat lintas jabatan dan lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), menandai pendalaman kasus yang semakin serius.
Pada Kamis (4/12/2025), empat pejabat strategis Pemprov Riau kembali dipanggil untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Kantor Perwakilan BPKP Riau. Mereka adalah mantan Pj Sekdaprov Riau sekaligus Kadis Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM M Taufiq Oesman Hamid; Asisten II Setdaprov Riau yang juga mantan Pj Sekdaprov M Job Kurniawan; Kabiro Hukum yang merangkap Plt Kepala Inspektorat Yandharmadi; serta seorang ASN Dinas PUPR-PKPP, Syarkawi.
Langkah KPK memeriksa mereka di BPKP Riau dinilai sebagai upaya memperkuat konstruksi perkara secara lebih komprehensif. Penyidik tampak tidak lagi sekadar menelusuri dugaan pemerasan dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Riau nonaktif, Abdul Wahid, usai operasi tangkap tangan (OTT) 3 November lalu. Pemanggilan beruntun ini justru mengindikasikan pola dugaan kartel anggaran di tubuh Pemprov Riau.
Sebelumnya, sejumlah pejabat lain telah dimintai keterangan, seperti Sekda Riau Syahrial Abdi, Kabag Protokol Raja Faisal Febnaldi, Plt Kepala BPKAD, hingga para Kepala UPT Dinas PUPR-PKPP. Seorang anggota DPRD Riau, Suyadi, serta ajudan Gubernur, Dahri Iskandar, juga ikut diperiksa.
Kasus ini mencuat setelah KPK menemukan lonjakan janggal pada anggaran UPT Jalan dan Jembatan Dinas PUPR-PKPP. Dari sebelumnya Rp71,6 miliar, anggaran melonjak menjadi Rp177,4 miliar, terdapat selisih Rp106 miliar yang diduga menjadi ruang permainan oknum tertentu. Dalam penyidikan, KPK menduga adanya permintaan fee sebesar 5 persen atau sekitar Rp7 miliar, menggunakan kode komunikasi “7 batang”. Pejabat yang menolak disebutkan sempat mengalami tekanan berupa ancaman mutasi ataupun pencopotan jabatan.
Praktik yang disebut sebagai “jatah preman” di lingkungan PUPR-PKPP itu kini tengah ditelusuri lebih dalam oleh KPK. Fokus penyidikan bukan lagi pada siapa memberi dan menerima, tetapi pada dugaan bahwa praktik korupsi berlangsung terstruktur, sistematis, dan melibatkan sejumlah aktor penting dalam birokrasi Provinsi Riau.
Publik Riau kini menunggu langkah lanjutan KPK. Apakah penyidikan akan berhenti pada tiga tersangka awal, ataukah justru membuka gelombang baru pemberantasan korupsi di lingkungan Pemprov Riau. Hasil akhir penyidikan diharapkan dapat menjadi momentum pembenahan integritas dan tata kelola anggaran daerah, agar APBD 2025 benar-benar kembali ke tujuan utamanya: sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. (*)
Penulis : Wahyu Widodo
Editor : Redaksi