Penanganan Bencana Sumatera Dinilai Belum Pulihkan Kewibawaan Negara Sepenuhnya

Aceh, Obor Rakyat — Kehadiran negara dalam penanganan bencana di sejumlah wilayah Sumatera dinilai belum sepenuhnya mampu mengembalikan kewibawaan bangsa.
Direktur Forum Bangun Investasi Aceh, M. Nur, S.H.

Aceh, Obor Rakyat — Kehadiran negara dalam penanganan bencana di sejumlah wilayah Sumatera dinilai belum sepenuhnya mampu mengembalikan kewibawaan bangsa.

Penilaian tersebut disampaikan Direktur Forum Bangun Investasi Aceh, M. Nur yang menilai bahwa meskipun pemerintah pusat telah hadir melalui berbagai langkah konkret, proses pemulihan di lapangan masih jauh dari harapan masyarakat terdampak.

Menurut M. Nur, sejak awal bencana, negara telah mengerahkan berbagai instrumen, mulai dari TNI, Polri, hingga kementerian dan lembaga strategis. Langkah cepat dilakukan untuk membuka akses distribusi bantuan, pembersihan wilayah terdampak, serta pengerahan alat berat guna memulihkan infrastruktur vital.

“Itu menunjukkan negara hadir dalam penanggulangan bencana Sumatera,” ujarnya, Kamis (25/12/2025).

Sejumlah kementerian tercatat telah mengambil peran aktif. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi menyalurkan bantuan biaya hidup senilai Rp17 miliar kepada mahasiswa dan dosen terdampak. Bantuan tersebut menjangkau 15.833 mahasiswa PIP, 3.100 mahasiswa ADik, serta 554 dosen, dengan skema bantuan mahasiswa sebesar Rp1,25 juta per bulan selama tiga bulan dan dosen Rp4,5 juta per bulan selama dua bulan. Di sektor infrastruktur dasar, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) memprioritaskan pemulihan sistem penyediaan air minum dan sanitasi.

Baca Juga :  Diduga Lakukan Penganiayaan, Anak Pangulu Rambung Merah Dilaporkan ke Polres Simalungun

Di Aceh Tamiang, pembangunan tiga Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) ditargetkan rampung dalam waktu tiga bulan. Selain itu, 334 unit sarana sanitasi sementara telah disalurkan, dengan dukungan 1.130 personel dan 872 alat berat di tiga provinsi terdampak. Kementerian PU juga mencatat kebutuhan 69 jembatan Bailey untuk membuka kembali akses transportasi masyarakat.

Sementara itu, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman mulai membangun hunian tetap (huntap) sebagai solusi jangka panjang.

Pada tahap awal, pemerintah menargetkan pembangunan 2.603 unit rumah, dengan realisasi awal 118 unit di Tapanuli Tengah, 200 unit di Kota Sibolga, dan 103 unit di Tapanuli Utara.

Di sektor energi, Kementerian ESDM melaporkan bahwa hingga 18 Desember 2025, sebanyak 274.419 dari 274.564 pelanggan terdampak di Sumatera Barat telah kembali menikmati aliran listrik. Tersisa 145 pelanggan yang masih mengalami pemadaman di wilayah Jorong Lambeh (FCO Tulang Gajah Tinggi).

Meski demikian, hampir satu bulan pascabencana, M. Nur menilai kondisi di lapangan masih membutuhkan kerja ekstra. Menurutnya, kehadiran negara belum dirasakan optimal oleh masyarakat terdampak.

“Masyarakat menginginkan penyelesaian cepat, terutama terkait perumahan, pemulihan sawah agar kembali produktif, perbaikan akses jalan, serta jaminan ekonomi bagi warga,” katanya.

Ia menegaskan penanganan bencana tidak boleh dilakukan secara setengah-setengah. Negara harus bekerja penuh dan berkelanjutan, termasuk mengevaluasi dan mempertimbangkan pencabutan sejumlah konsesi perkebunan sawit di wilayah rawan bencana seperti Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bireuen, dan Bener Meriah, yang dinilai mengalami kerusakan hutan dan lahan paling parah.

“Jika pemulihan ekonomi tidak segera dilakukan, masyarakat akan kehilangan mata pencaharian. Lahan pertanian rusak, infrastruktur lumpuh, dan ini berpotensi melahirkan masalah baru berupa kemiskinan,” ujar M. Nur.

Meski penetapan status bencana nasional tidak lagi menjadi perdebatan, ia menilai pemerintah pusat tetap harus menunjukkan kewibawaannya dengan memaksimalkan penggunaan dana APBN.

“Daerah memiliki keterbatasan anggaran,” katanya.

M. Nur juga menepis anggapan bahwa negara belum bekerja. Menurutnya, kehadiran kepala daerah, TNI, dan Polri di lapangan merupakan bukti nyata negara hadir.

“Ribuan personel bekerja siang dan malam, dan itu patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun demikian, ia mengingatkan pemerintah agar tidak bersikap reaktif terhadap kritik publik. Negara, kata dia, harus terus bekerja dan secara terbuka menyampaikan progres penanganan bencana kepada masyarakat.

“Negara tidak boleh baru bergerak setelah kritik keras muncul. Harus cepat, konsisten, dan transparan agar kehadirannya benar-benar dirasakan,” pungkasnya.

Penanganan bencana di Sumatera, menurut M. Nur, merupakan tanggung jawab penuh negara untuk memulihkan kehidupan masyarakat terdampak sekaligus menjaga kewibawaan bangsa di mata publik.(*)

Penulis : Muhammad
Editor : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *