PPABS Tegaskan Klaim Tanah Adat di Simalungun Tanpa Dasar Hukum: “Belum Ada Penetapan Masyarakat Hukum Adat”

Simalungun, Obor Rakyat — Dewan Pimpinan Pusat/Presidium Partumpuan Pemangku Adat dan Budaya Simalungun (PPABS) menegaskan bahwa tidak ada satupun klaim tanah adat di Kabupaten Simalungun yang memiliki dasar hukum yang sah. Hal ini disampaikan menyusul maraknya klaim sepihak oleh kelompok masyarakat yang menyebut diri sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah Sihaporas dan sekitarnya.
Hermanto Hamonangan Sipayung SH CIM,Ketua Bidang Hukum’ PPABS.

Simalungun, Obor Rakyat — Dewan Pimpinan Pusat/Presidium Partumpuan Pemangku Adat dan Budaya Simalungun (PPABS) menegaskan bahwa tidak ada satupun klaim tanah adat di Kabupaten Simalungun yang memiliki dasar hukum yang sah. Hal ini disampaikan menyusul maraknya klaim sepihak oleh kelompok masyarakat yang menyebut diri sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah Sihaporas dan sekitarnya.

Ketua Umum DPP PPABS, Jantoguh Damanik, melalui Ketua Bidang Hukum PPABS, Hermanto Hamonangan Sipayung, SH, CIM, menyebutkan bahwa tindakan klaim tanah adat oleh oknum tertentu merupakan pelanggaran hukum dan tidak memiliki legitimasi legal.

“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara resmi telah menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada satu pun penetapan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Simalungun,” tegas Hermanto, Selasa (23/9/2025).

Penegasan tersebut tertuang dalam surat resmi KLHK Nomor S.211/PKTHA/PIAHH/PSL.7/2/09/2023 tanggal 8 September 2023, yang ditujukan kepada PPABS dan kelompok masyarakat di Sihaporas. Surat tersebut menyatakan bahwa pengakuan MHA hanya bisa dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda), sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 23 Tahun 2021.

“Jangan ada pihak yang mencoba memutarbalikkan fakta sejarah dan hukum. Klaim sepihak adalah bentuk pelanggaran HAM terhadap suku asli Simalungun. Bukan sebaliknya,” tambah Hermanto.

Baca Juga :  Kontraktor Bondowoso Dicokok KPK, Dua Lokasi Proyek Jembatan di Situbondo Terancam Mangkrak

Klaim Sepihak Dinilai Rugikan Masyarakat Simalungun

Menurut Hermanto, fakta sejarah dan hak ulayat di Simalungun hanya bisa diklaim oleh keturunan marga asli Simalungun yang tergabung dalam tujuh harajaon: Damanik, Sinaga, Purba Tambak, Dasuha, Purba Pakpak, Saragih Garingging, dan Dasuha.

“Orang Simalungun tidak pernah memaksakan klaim tanah. Mereka menghormati hukum dan sejarah. Tapi jika pendatang mencoba mengaburkan sejarah, itu bisa picu konflik horizontal,” tegasnya.

Hermanto juga mengajak semua pihak untuk mengikuti prosedur hukum dalam memperjuangkan pengakuan MHA, bukan melalui provokasi dan klaim yang tidak berdasar.

Ketua Gerakan Masyarakat Adat Simalungun Horison
Sarmuluadin Sinaga.

Tokoh Adat Simalungun: Jangan Bangkitkan Konflik Horizontal

Senada dengan PPABS, Ketua Gerakan Masyarakat Adat Simalungun Horisan, Sarmuliadin Sinaga, ST, juga menyoroti maraknya klaim tanah adat yang dinilai bisa memicu instabilitas di wilayah Simalungun.

“Kami minta anggota DPR RI dan pemerintah pusat tidak terlibat dalam skenario yang mengaburkan hak kultur masyarakat adat Simalungun. Fokuslah pada solusi ekonomi, bukan pada klaim tak berdasar,” kata Sarmuliadin.

Menurutnya, ribuan hektare lahan yang berada dalam konsesi perusahaan saat ini malah sedang diklaim secara sepihak oleh kelompok luar, sementara masyarakat asli Simalungun masih banyak yang kekurangan lahan.

Baca Juga :  Bareskrim Polri, Bongkar Kasus TPPO Modus Pekerjakan Sebagai PSK di Sydney

“Kalau memang pemerintah peduli, bantu masyarakat dengan program pembelian lahan, bukan memaksakan klaim ulayat oleh kelompok yang tak punya dasar sejarah maupun hukum,” tegasnya.

Seruan kepada Pemerintah dan Aparat Keamanan

Baik PPABS maupun tokoh adat mendesak Forkopimda, DPRD, Pemkab Simalungun, hingga aparat TNI/Polri untuk bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang mencoba memprovokasi masyarakat melalui klaim ulayat tanpa legalitas.

“Jangan biarkan kerusuhan baru muncul. Simalungun itu ‘habonaron do bona’ — kebenaran adalah dasar utama. Jangan rusak nilai itu karena kepentingan politik atau pendatang,” pungkas Sarmuliadin. (*)

 

Penulis : S Hadi Purba
Editor : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *