Dominasi Ketua Partai dalam Kabinet Dinilai Melemahkan Sistem Presidensial di Indonesia

Bondowoso, Obor Rakyat – Praktik politik Indonesia yang kian kental dengan dominasi partai politik di parlemen dan pemerintahan menuai sorotan publik. Meski secara konstitusional menganut sistem presidensial, praktiknya justru memperlihatkan kecenderungan seperti sistem parlementer yang tidak utuh.
Ilustrasi menteri yang diangkat dari partai.

Bondowoso, Obor Rakyat – Praktik politik Indonesia yang kian kental dengan dominasi partai politik di parlemen dan pemerintahan menuai sorotan publik. Meski secara konstitusional menganut sistem presidensial, praktiknya justru memperlihatkan kecenderungan seperti sistem parlementer yang tidak utuh.

Dalam sistem presidensial ideal seperti di Amerika Serikat, Brasil, dan Filipina, eksekutif dan legislatif berdiri secara terpisah, dengan adanya mekanisme check and balances yang kuat antar lembaga negara. Namun di Indonesia, banyak pengamat menilai bahwa fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap pemerintah melemah karena banyak ketua partai politik justru merangkap sebagai menteri dalam kabinet.

“Seharusnya partai politik fokus pada pengusungan calon di eksekutif dan legislatif, bukan ikut mengatur pemerintahan secara langsung melalui posisi menteri. Ini melemahkan fungsi pengawasan DPR karena seluruh arah kebijakan ditentukan oleh elit partai,” ujar seorang akademisi politik dari Bondowoso, Burhan Miftah, Minggu (28/9/2025).

Berbeda dengan sistem parlementer seperti di Inggris, India, dan Malaysia, di mana perdana menteri berasal dari partai mayoritas di parlemen dan dapat dibubarkan jika kehilangan dukungan, Indonesia tidak memiliki mekanisme pembubaran DPR oleh presiden. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara eksekutif dan legislatif, apalagi ketika semua partai besar berada dalam koalisi pemerintahan.

UU Mandeg dan Kepentingan Politik di Balik Legislasi

Baca Juga :  DPRD Bondowoso Sahkan Perubahan APBD 2025, Bupati Hamid Tegaskan Komitmen Transparansi

Banyak rancangan undang-undang (RUU) strategis yang saat ini mandek di DPR, seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal. Publik menilai hambatan tersebut bukan karena substansi, tetapi lebih kepada kepentingan oknum anggota DPR dan arahan elit partai.

Di sisi lain, sejumlah undang-undang dinilai malah menguntungkan pengusaha dan melemahkan pengawasan publik. UU BUMN misalnya, sempat menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN bukan bagian dari penyelenggara negara, sehingga menutup ruang pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun demikian, Presiden RI menunjukkan komitmen reformasi dengan mengajukan RUU Perubahan UU BUMN yang menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN adalah penyelenggara negara, membuka peluang KPK untuk masuk dan melakukan pengawasan.

“Langkah ini patut diapresiasi sebagai bentuk penguatan akuntabilitas di sektor BUMN yang selama ini rentan terhadap praktik korupsi,” kata Burhan Miftah.

Tekanan Publik dan Harapan Baru

Aksi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat yang terjadi baru-baru ini disebut berhasil mengubah persepsi sebagian anggota DPR terhadap arah kebijakan legislatif. Tekanan publik dianggap sebagai kekuatan demokratis yang mampu menekan kepentingan politik sempit.

Namun, reformasi politik di Indonesia tetap membutuhkan komitmen kolektif, baik dari pemerintah, DPR, maupun partai politik untuk mengembalikan marwah sistem presidensial yang berfungsi secara sehat dan berimbang.

“Jika semua keputusan tetap di tangan ketua partai yang juga menteri, maka sistem check and balances hanya akan jadi jargon. Kita butuh pembenahan sistemik, bukan sekadar tambal sulam,” pungkas Burhan Miftah. (*)

 

Penulis : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *