
Anggota DPR RI Soroti Praktik Penahanan Ijazah sebagai Pelanggaran Konstitusi dan Bentuk Neo-Feodalisme Korporat
Jakarta, Obor Rakyat – Praktik penahanan ijazah oleh perusahaan kembali menjadi sorotan publik usai sidak mengejutkan dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Emanuel Ebenezer, yang membongkar kasus di lapangan. Menyusul polemik tersebut, Anggota DPR RI, Ranny Fahd A Rafiq, menyuarakan kritik tajam yang menyebut praktik itu sebagai bentuk perbudakan modern dan neo-feodalisme korporat.
“Ijazah bukan milik perusahaan, itu simbol perjuangan dan harga diri seseorang. Ketika ditahan, itu bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan penjajahan gaya baru,” tegas Ranny dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu (25/6/2025).
Menurut politisi perempuan yang dikenal vokal membela hak-hak pekerja ini, praktik penahanan ijazah adalah ironi di tengah era demokrasi dan kemajuan industri.
“Kondisi ini mirip dengan sistem tanam paksa kolonial, hanya saja kali ini yang digunakan bukan rantai besi, melainkan dokumen akademik sebagai alat belenggu,” sebutnya.
Ranny menegaskan bahwa praktik tersebut mencederai UUD 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan layak. Bahkan di tingkat daerah, Perda Jawa Timur No. 8 Tahun 2016 Pasal 42 secara tegas melarang perusahaan menahan ijazah pekerja.
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, turut merespons keras isu ini dan menyatakan penahanan ijazah tidak dibenarkan secara hukum. Namun, Ranny mempertanyakan lambatnya respons negara.
“Kenapa harus viral dulu baru negara bertindak? Ini paradoks hukum. Di atas kertas dilarang, tapi di lapangan terjadi karena kontrak kerja yang timpang dan ketimpangan kuasa,” tegasnya.
Selain itu, Ranny memaparkan, penahanan ijazah lazim terjadi di sektor manufaktur, jasa, hingga outsourcing. Korbannya mayoritas adalah fresh graduate yang terjebak kontrak kerja dengan syarat menyerahkan ijazah, dan jika hendak keluar, harus menebusnya.
“Banyak yang takut bersuara. Takut dicap pembangkang, takut tidak digaji. Inilah relasi kuasa yang membungkam suara pekerja,” jelas Ranny, yang juga istri dari publik figur Fahd A Rafiq.
Mengacu, lanjut Ranny, pada survei Litbang Kompas Mei 2025, sebanyak 27% pekerja usia 18–30 tahun mengaku pernah atau sedang mengalami penahanan ijazah. Fakta ini mengindikasikan bahwa praktik tersebut bukan kasus sporadis, melainkan masalah sistemik.
“Untuk merespons masifnya pelanggaran ini, kami mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Komnas HAM membentuk satgas nasional yang menyelidiki kasus ini secara menyeluruh,” tegasnya.
Ia juga menyatakan bahwa DPR RI akan membuka posko pengaduan nasional agar para korban bisa melapor tanpa rasa takut.
“Kita tidak bicara soal kontrak kerja semata, tapi soal hak hidup dan masa depan anak bangsa. Negara harus hadir sebagai pelindung, bukan penonton,” serunya.
Dalam pernyataan akhirnya, Ranny menyampaikan pesan moral yang menggugah:
“Jika kita tak bisa menjamin seorang anak membawa pulang ijazahnya sendiri setelah bekerja keras, maka jangan sebut negara ini adil. Sebab keadilan bukan milik penguasa, tapi hak semua manusia,” (*)