
Obor Rakyat – Di tengah gempuran modernisasi dan perkembangan teknologi, tradisi lokal seperti hari naas dalam budaya Jawa tetap hidup dan diyakini oleh sebagian masyarakat. Kepercayaan ini bukan sekadar mitos, namun bagian dari warisan budaya yang mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, terutama dalam menentukan waktu pelaksanaan berbagai hajat penting seperti pernikahan, membangun rumah, hingga memulai usaha.
Dalam budaya Jawa, konsep hari naas ditentukan melalui perhitungan weton — gabungan antara hari lahir dan pasaran dalam kalender Jawa. Sistem ini melibatkan nilai-nilai neptu yang kompleks dan bahkan kadang dikonsultasikan melalui primbon oleh para sesepuh atau ahli spiritual Jawa.
Hari-hari tertentu seperti Rebo Wekasan, yaitu Rabu terakhir di bulan Safar (kalender Hijriah), atau tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, sering dianggap sebagai hari yang penuh kehati-hatian. Masyarakat percaya bahwa menghindari kegiatan besar di hari-hari tersebut dapat menjauhkan dari mara bahaya atau kesialan.
Namun, seiring berkembangnya zaman, muncul pertanyaan: Apakah kita masih perlu percaya pada hari sial? Jawabannya tak sederhana. Bagi sebagian kalangan, ini bukan sekadar kepercayaan, melainkan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan identitas budaya.
Menghargai Tradisi, Menghormati Perbedaan
Penting untuk memahami bahwa kepercayaan terhadap hari naas bukanlah bentuk takhayul tanpa dasar, melainkan bagian dari sistem nilai yang telah teruji oleh waktu. Meskipun tidak semua orang Jawa percaya pada hari naas, namun menghormati tradisi tersebut adalah bagian dari etika sosial dan keberagaman budaya.
Di era inklusivitas dan keberagaman seperti saat ini, menghormati kepercayaan budaya lokal menjadi kunci dalam membangun masyarakat yang harmonis. Kita tidak harus meyakininya, namun kita bisa menunjukkan respek terhadap mereka yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Menghormati kepercayaan orang lain — termasuk keyakinan terhadap hari naas dalam budaya Jawa — merupakan bentuk nyata dari toleransi. Budaya bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan dengan sains atau kemajuan, tetapi dapat hidup berdampingan dalam ruang saling menghargai.
Karena pada akhirnya, kekayaan bangsa bukan hanya diukur dari teknologi dan ekonomi, tetapi juga dari sejauh mana kita mampu menjaga dan menghormati perbedaan, termasuk dalam hal tradisi dan kepercayaan lokal.(*)