
Surabaya, Obor Rakyat – Langkah hukum berani diambil oleh Ilmiatun Nafia, seorang wartawati sekaligus korban penganiayaan, dengan melaporkan dugaan ketidakprofesionalan aparat, manipulasi proses hukum, hingga tekanan tambahan yang dialamatkan kepadanya ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Timur.
Laporan resmi tersebut juga ditembuskan kepada Kapolda Jatim, Irwasda, dan Kabid Propam sebagai bentuk permintaan pengawasan internal yang transparan dan akuntabel.
Dalam laporan yang disampaikannya pada Kamis (11/9/2025), Ilmiatun mengungkap bahwa kerugian yang dialaminya tidak sebatas luka fisik, tetapi juga mencakup kerusakan terhadap nama baik, reputasi profesional, serta aktivitas bisnis yang ia kelola.
Ia pun menyoroti bahwa pemberitaan sepihak serta tindakan aparat yang dianggap tidak objektif justru memperparah posisinya sebagai korban.
Kronologi Kasus Penganiayaan dan Dugaan Kejanggalan Prosedural
Peristiwa bermula pada 14 Maret 2025, ketika Ilmiatun menjadi korban penganiayaan di area parkir Polres Pasuruan Kota. Namun, hanya sehari setelah kejadian, terlapor memberikan keterangan kepada oknum wartawan tertentu. Ilmiatun menilai bahwa informasi yang disebarkan tersebut telah mencemarkan nama baiknya dan berdampak langsung pada reputasi bisnisnya.
Kejanggalan semakin mencuat pada 18 Maret 2025, saat aparat menghadirkan saksi yang tidak dikenal korban dan dianggap tidak memahami pokok perkara. Ilmiatun menduga kuat bahwa kehadiran saksi tersebut merupakan bagian dari upaya sistematis untuk mempermudah pencabutan laporan awal.
Selanjutnya, pada 18 Mei 2025 dan 8 Juli 2025, beberapa media lokal seperti Salam Waras, Elang Bali, dan Mata Jateng menerbitkan berita yang menggunakan inisial korban. Pemberitaan ini, yang dianggap tidak berimbang, kemudian dijadikan rujukan dalam laporan hukum terhadap Ilmiatun, menambah tekanan terhadap dirinya.
Puncak tekanan terjadi pada 7 Juli 2025, ketika sekelompok aliansi wartawan justru melaporkan Ilmiatun ke Dewan Pers, dengan tuduhan yang ia klaim tidak berdasar dan bersifat sepihak.
Tekanan Tambahan dan Dugaan Intimidasi
Pasca pelaporan ke Dewan Pers, Ilmiatun menyatakan bahwa ia mengalami tekanan tambahan, termasuk kedatangan aparat ke kediamannya dengan membawa surat panggilan yang mencantumkan identitas tidak konsisten. Lebih jauh lagi, aparat disebut meminta akses terhadap rekaman percakapan pribadi yang tidak relevan dengan substansi perkara.
Bukti-Bukti yang Diserahkan ke Propam Polda Jatim
Dalam pengaduannya, Ilmiatun telah menyerahkan sejumlah dokumen dan bukti yang memperkuat dugaan pelanggaran prosedural, di antaranya:
- Salinan surat panggilan penyidik dengan data identitas yang tidak konsisten.
- Dokumentasi teror dan perundungan di grup WhatsApp resmi milik rilis Polres Pasuruan Kota.
- Fakta bahwa beberapa bukti kunci tidak dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Tuntutan Proses Hukum yang Transparan dan Objektif
Ilmiatun menekankan bahwa upaya pelaporan ini bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap ketidakprofesionalan aparat, melainkan penolakan terhadap praktik manipulasi hukum yang merugikan secara personal dan profesional. Dalam pernyataannya, ia mengatakan:
- “Perjuangan saya bukan semata melaporkan dugaan ketidakprofesionalan. Tindakan ini merupakan bentuk manipulasi hukum dan tekanan tambahan, yang jelas merugikan saya secara pribadi dan profesional. Saya menuntut proses hukum yang adil, transparan, dan objektif.”
Kasus Ilmiatun Nafia: Ujian bagi Profesionalisme Aparat dan Etika Pers
Kasus ini kini menjadi perhatian publik, bukan hanya karena menyangkut seorang wartawati, melainkan karena membuka kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum serta keberpihakan media yang seharusnya menjunjung tinggi etika jurnalistik dan prinsip objektivitas.
Dalam konteks ini, laporan Ilmiatun menjadi ujian serius bagi integritas institusi kepolisian dan kredibilitas pers nasional. Publik kini menantikan langkah konkret dari Propam Polda Jawa Timur dan jajaran pengawas internal untuk menindaklanjuti laporan tersebut secara menyeluruh, demi menjamin bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga terlihat ditegakkan. (*)
Penulis : Ainul Mukorobin
Editor : Redaksi