
Jakarta, Obor Rakyat – Dugaan praktik monopoli dan korupsi dalam distribusi BBM Non-PSO kembali mencuat. Sentinel Energy Indonesia (SEI) merilis hasil investigasi yang mengungkap skema sistematis dalam tata niaga BBM oleh Pertamina Patra Niaga (PPN), yang dinilai menutup persaingan pasar dan mengancam kedaulatan energi nasional.
Dalam laporan resmi yang disampaikan kepada publik, SEI menyoroti peran Direktur Utama Patra Niaga, Mars Ega, sebagai sosok sentral di balik kebijakan yang memicu terkuncinya pasar BBM Non-PSO sejak 2023 hingga 2025. SEI menyebut kebijakan tersebut bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan bentuk penyimpangan yang disusun secara terstruktur dan disengaja.
“Ini bukan hanya kelalaian, tapi sistem by design. Pasar dikunci, akses swasta dibatasi, dan distribusi BBM di bawah standar terus berlangsung,” tegas Hexa Todo, Koordinator Nasional SEI.
Pola Skema: Larangan – Pemaksaan – Pelanggaran
SEI mengidentifikasi pola tiga tahap yang menggambarkan krisis tata niaga BBM Non-PSO:
- Larangan penjualan BBM Non-PSO ke SPBU swasta dimulai sejak 2023.
- Pemaksaan pembelian kembali dari PPN setelah kuota impor swasta habis.
- Pelanggaran dalam spesifikasi BBM yang didistribusikan tanpa inspeksi independen.
- Kebijakan ini, menurut SEI, menciptakan dominasi tunggal di sektor energi, mematikan kompetisi, dan memperbesar potensi penyalahgunaan wewenang.
Nama-Nama Besar Terseret
Skandal ini menyeret nama-nama penting di industri energi nasional, termasuk:
- Mars Ega – Direktur Utama Pertamina Patra Niaga
- Nicke Widyawati – Mantan Direktur Utama Pertamina
- Alvian Nasution – Tersangka kasus BBM dalam penyidikan Kejagung
- Mohammad Riza Chalid – Pengusaha yang diduga mafia migas
SEI juga menyinggung laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dugaan penjualan solar industri ke Grup Adaro di bawah harga subsidi dan HPP. Jika terbukti, praktik ini mencerminkan peralihan subsidi publik secara diam-diam ke korporasi besar.
Isu Pertalite dan Manipulasi Formula Harga
Kebijakan Pertalite turut menjadi sorotan. Pertamina disebut mengusulkan Harga Indeks Pasar (HIP) Pertalite sebesar 99,21% dari MOPS RON 92. Padahal, Pertalite adalah campuran RON 88 dan RON 92, bukan produk murni.
“Publik membeli produk kompromi dengan harga premium. Ini manipulasi harga yang merugikan konsumen,” ujar Hexa.
Desakan SEI: Audit dan Transparansi
Menyikapi kondisi tersebut, SEI menyampaikan tiga tuntutan utama:
Audit independen atas seluruh transaksi BBM Non-PSO Pertamina Patra Niaga periode 2023–2025;
- Keterbukaan data impor dan distribusi BBM Non-PSO oleh Kementerian ESDM dan BUMN;
- Penyelidikan hukum oleh KPK dan Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran spesifikasi BBM.
Keadilan Energi Harus Dikembalikan
SEI menegaskan bahwa energi adalah instrumen kedaulatan nasional, bukan alat rente kekuasaan.
“Ketika hukum bungkam, yang tersisa hanya kejahatan yang dilegalkan lewat kebijakan. Negara tidak boleh menutup mata,” tegas Hexa.
Kasus BBM Non-PSO ini menjadi pengingat penting bahwa transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam tata kelola energi tidak bisa ditawar. SEI menegaskan bahwa publik berhak tahu, dan hukum wajib bertindak. (*)
Sumber : Sentinel Energy Indonesia (SEI)
Penulis : Maria
Editor : Redaksi