Maraknya Penggunaan Alat Tangkap Jaring Hela Ikan Berkantong (JHIB) di Perairan Langkat: Pelanggaran Zona Penangkapan Ikan Terukur dan Upaya Pengawasan

Langkat, Obor Rakyat — Peningkatan penggunaan alat tangkap jenis Jaring Hela Ikan Berkantong (JHIB) di perairan Langkat telah menimbulkan kekhawatiran yang serius dari kalangan nelayan lokal. Menurut laporan sejumlah nelayan di kabupaten tersebut, kapal-kapal yang menggunakan JHIB diduga beroperasi di luar zona yang telah ditetapkan oleh regulasi pemerintah, sehingga mengancam akses yang adil terhadap sumber daya ikan dan potensi kerusakan lingkungan laut.
Perairan Langkat. (Fot Ist)

Langkat, Obor Rakyat — Peningkatan penggunaan alat tangkap jenis Jaring Hela Ikan Berkantong (JHIB) di perairan Langkat telah menimbulkan kekhawatiran yang serius dari kalangan nelayan lokal. Menurut laporan sejumlah nelayan di kabupaten tersebut, kapal-kapal yang menggunakan JHIB diduga beroperasi di luar zona yang telah ditetapkan oleh regulasi pemerintah, sehingga mengancam akses yang adil terhadap sumber daya ikan dan potensi kerusakan lingkungan laut.

Kerangka Hukum: Permen KP No. 36 Tahun 2023 sebagai Landasan

Regulasi ini menjadi payung hukum bagi pengaturan alat tangkap dan jalur penangkapan dalam konsep Zona Penangkapan Ikan Terukur. Beberapa poin pentingnya:

  • Permen KP No. 36/2023 mengatur penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di zona penangkapan ikan terukur dan wilayah pengelolaan perikanan negara di perairan darat.
  • Zona Penangkapan Ikan Terukur didefinisikan sebagai wilayah pengelolaan perikanan negara dan laut lepas yang dikelola untuk pemanfaatan sumber daya ikan dengan penangkapan secara terukur.
Baca Juga :  Prabowo: Penegakan Hukum Jangan Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah, Itu Zalim!
  • Kebijakan penangkapan ikan terukur juga tercantum dalam PP No. 11 Tahun 2023 yang mendasari bahwa sistem akan berbasis kuota, zona dan kontrol output — bukan hanya kontrol alat tangkap saja.

Dalam artikel terpisah disebut bahwa dalam Permen 36/2023, JHIB dan jaring hela dasar (JHD) diperbolehkan dalam ketentuan tertentu.

Dengan demikian, regulasi ini menempatkan kewajiban bahwa semua pelaku penangkapan ikan, termasuk yang menggunakan JHIB harus mematuhi zonasi dan jalur yang ditetapkan agar tidak merugikan ekosistem dan nelayan lokal.

Kondisi di Lapangan: Dugaan Pelanggaran dan Dampaknya

Berdasarkan laporan dari nelayan di Langkat, beberapa hal penting mencuat:

  • Terdapat kapal yang menggunakan jaring JHIB di luar jalur / zona yang ditetapkan untuk zona nelayan kecil atau zona terbatas.
  • Praktik tersebut menyebabkan tangkapan nelayan tradisional menjadi menurun karena persaingan tidak setara dari kapal besar atau kapal yang beroperasi di wilayah seharusnya dilindungi.
  • Selain aspek ekonomi, dampak lingkungan mulai dirasakan, gangguan terhadap kawasan pemijahan ikan dan potensi kerusakan habitat terumbu karang.
  • Tekanan ekonomi meningkat bagi nelayan kecil yang bergantung pada hasil tangkapan harian mereka; bila sumber daya terus terganggu, maka keberlanjutan mata pencaharian mereka terancam.
  • Situasi ini juga memunculkan potensi konflik antar nelayan — nelayan lokal versus pelaku tangkap skala besar/kapal yang beroperasi di luar aturan — karena akses ke wilayah ikan mulai dianggap tidak adil.

Upaya Pengawasan dan Penertiban: Kolaborasi Lintas Institusi

Pengawasan terhadap pelanggaran zona dan penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai regulasi telah dijalankan oleh berbagai instansi di Provinsi Sumatera Utara (Sumut):

  • Pihak PSDKP Sumut (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan), Direktorat Polair (Polairud) Sumut, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut bekerja sama untuk monitoring dan patroli rutin di zona perairan Langkat.
  • Melalui kolaborasi dengan HNSI Kabupaten Langkat (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) sebagai wakil nelayan lokal, upaya pengawasan diperkuat dengan pelibatan komunitas nelayan dalam pelaporan pelanggaran.
  • Tanggal 22 Oktober 2025, HNSI Langkat melakukan audensi di Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut untuk menyepakati pembagian wilayah patroli, mekanisme pelaporan, dan sinkronisasi data pengawasan antar lembaga.
  • Tahapan penegakan hukum dilakukan secara bertahap: dari teguran tertulis, pendataan kapal, hingga kemungkinan penahanan kapal jika terbukti pelanggaran serius, sambil tetap mempertimbangkan kesejahteraan nelayan kecil.

Kebutuhan Data Terukur dan Transparansi

Dalam upaya penertiban ini, sangat penting bahwa setiap klaim pelanggaran — seperti lokasi kapal yang beroperasi di luar zona, jumlah kapal yang terlibat, dan dampak terhadap tangkapan nelayan memiliki dasar data resmi dari instansi terkait (PSDKP Belawan, Polair Sumut, Dinas Perikanan Sumut) dan pernyataan HNSI Langkat.

Data resmi menjadi alat penting untuk:

  • Mengetahui sejauh mana penyimpangan zona terjadi.
  • Menilai dampak ekonomi bagi nelayan lokal secara objektif.
  • Membuat dasar hukum dan administratif untuk tindakan penertiban yang proporsional.
  • Meningkatkan kepercayaan nelayan kecil terhadap sistem pengawasan sehingga mereka merasa aksesnya adil dan terlindungi.

Mengapa Zona Penangkapan Ikan Terukur Penting?

  1. Ekologi – Zona ini membantu menjaga kawasan pemijahan dan pengasuhan ikan (nursery ground) tetap aman dari tekanan alat tangkap besar atau operasional skala industri. Hal ini mendukung regenerasi sumber daya ikan.
  2. Ekonomi Nelayan Lokal – Dengan pembagian kuota dan zonasi yang jelas, nelayan kecil mendapatkan kesempatan yang lebih adil untuk memanfaatkan sumber daya ikan. Kebijakan “penangkapan ikan terukur” memang menegaskan prioritas bagi nelayan lokal.
  3. Keadilan dan Transparansi – Zonasi membantu menghindari konflik antar pengguna laut, memberikan batas yang jelas antara kapal industri dan nelayan tradisional.
  4. Kelestarian Sumber Daya – Dengan aturan yang jelas mengenai alat tangkap, jalur penangkapan, dan kuota, maka potensi eksploitasi berlebihan bisa dikendalikan.

Fenomena penggunaan JHIB secara diduga di luar zona yang ditetapkan di perairan Langkat menandakan perlunya penguatan pengawasan dan penegakan regulasi yang lebih intensif.

Sementara itu, penting untuk menjaga jangan sampai nelayan kecil justru menjadi pihak yang dirugikan dalam proses penertiban, kebijakan harus menyeimbangkan antara kelestarian lingkungan, penegakan hukum, dan kesejahteraan nelayan lokal.

Rekomendasi konkret:

  • Mempercepat penerbitan dan publikasi data patroli, jumlah kapal yang diproses, dan hasil tangkapan nelayan lokal sebagai indikator dampak.
  • Memfasilitasi pelatihan dan edukasi bagi nelayan Langkat mengenai hak mereka, regulasi zonasi, dan mekanisme pelaporan pelanggaran.
  • Mengoptimalkan penggunaan teknologi pengawasan (misalnya VMS/AIS) dan koordinasi patroli antarinstansi untuk memantau kapal yang menggunakan JHIB di luar jalur.
  • Memberikan mekanisme pengaduan yang mudah bagi nelayan lokal untuk melaporkan dugaan pelanggaran zona, dan memastikan tindak lanjut yang transparan.
  • Menjalin dialog terus-menerus antara nelayan, HNSI Langkat, PSDKP, Polairud dan Pemda dalam rangka menumbuhkan kesadaran bersama bahwa konservasi laut dan ekonomi nelayan sejalan, bukan bertentangan. (*)

Penulis : S Hadi Purba
Editor : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *